MAFIA PAJAK DI SEKITAR KITA
Sesungguhnya bau tidak sedap tentang penyelewengan pajak tentu sudah lama didengar dan dirasakan. Tetapi hal itu seperti hantu. Diyakini ada tetapi tidak pernah bisa ditangkap melalui pengindraan. Apalagi dalam coraknya yang empiris sensual. Lebih jelek seperti bau kentut, dibaui tetapi tidak diketahui bendanya. Penyelewengan pajak pun sama seperti itu. Bau mafia pajak itu dirasakan keberadaannya tetapi tidak pernah bisa ditangkap faktanya.
Mafia pajak tentu sudah terjadi semenjak lama. Baik di era Mar’i Muhammad kemudian Fuad Bawazier sampai di era orde reformasi sekarang hingga minggu-minggu akhir ini. Mafia pajak memang sebuah mafia dalam pengertian umum. Jika di Itali adalah sekumpulan para Don yang memimpin organisasi bawah tanah dengan otoritas mutlak, maka di era sekarang, khusunya di Indonesia memang agak beda. Di sini hanya teroganisir dari praksis pekerjaan untuk saling mendukung dan menguntungkan. Tidak ada struktur apapun. Dia diikat oleh segregasi kepentingan, yaitu kesepakatan memperoleh bagian yang relevan dengan perannya masing-masing.
Bau tidak sedap itu terkuak ketika Gayus Tambunan tertangkap karena penggelapan pajak. Jumlahnya pun mungkin tidak besar dibandingkan dengan perkiraan penyelewengan yang sesungguhnya terjadi. Bahkan lebih kecil dibandingkan penyelewengan pajak di Surabaya yang jumlahnya mencapai ratusan milyar rupiah. Apakah betul seperti itu. Saya meragukannya. Kiranya yang di Jakarta bisa jadi lebih besar. Yang tertangkap bisa jadi hanya puluhan milyard tetapi yang belum tentu jumlahnya bisa jauh lebih menggelembung.
Ternyata di sekitar kita ada sebuah mafia yang tak terendus sepak terjangnya. Padahal mafia itu telah merusak sendi-sendi pembangunan bangsa. Bukankah pembiayaan pembangunan itu dibiayai dari pajak yang selama ini kita bayar. Jika melihat kenyataan ini pantaslah jika ada gerakan mangkir membayar pajak. Mungkin para facebooker itu adalah orang yang merasa dirugikan oleh mafia pajak yang beroperasi tanpa jeratan hukum yang jelas.
Memang mereka yang menggelapkan pajak untuk memperkaya diri itu sungguh keterlaluan. Rasanya mereka itu melakukan pendloliman terhadap pembangunan masyarakat. Pantaslah jika kemudian memunculkan kebencian terhadap mereka. Ketika Gayus di bandara maka dilakukan tindakan penghukuman oleh masyarakat. Gayus pun dilempari dengan benda-benda untuk mengekspressikan kebencian terhadap tindakannya yang koruptif.
Korupsi memang masih menjadi penyakit akut masyarakat Indonesia. Penyakit social ini sudah memasuki hamper semua sendi kehidupan masyarakat. Tempat yang di dalamnya terdapat “uang”, maka di situ terdapat sarang korupsi. Hamper semua lembaga yang di dalamnya terdapat uangnya, maka di situlah terdapat penyelewengan uang.
Untuk itulah deraka anti korupsi tentu harus dikumandangkan. Dia tidak boleh lengah sedikitpun. Semua berkeyakinan bahwa hanya dengan gerakan anti korupsi yang dilaksanakan secara sungguh-sungguh maka korupsi akan dapat dihilangkan. Pengalaman Hongkong, Brazil, dan sebagainya dapat dijadikan contoh yang baik, bahwa penanganan kasus korupsi yang dilakukan secara ekstra keras ternyata bisa membawa kemaslahatan.
Oleh karena itu, jalan yang terbaik bagi kita adalah melakukan perlawanan terhadap korupsi dalam bentuk apapun, sehingga lama kelamaan korupsi sebagai penyakit masyarakat ini akan dapat dieliminasi bahkan dihilangkan.
Semua komponen masyarakat bangsa ini tentu akan merasa senang jika pemerintah melakukan tindakan tegas terhadap para koruptor. Sebab hanya melalui law enforcement saja persoalan krusial bangsa ini akan dapat ditanggulangi.
Wallahu a’lam bi al shawab.