MENCERMATI BIAYA PENDIDIKAN TINGGI
Majalah Tempo edisi terbaru, 19-25 April 2010, mengungkap banyak hal tentang pendidikan tinggi di Indonesia. Edisi ini secara khusus memang menyajikan berbagai lembaga pendidikan tinggi dalam paket iklan yang dikemas dengan model pemberitaan mendalam atau investigative news. Model pemberitaan iklan yang sangat menarik, sebab tidak seperti layaknya iklan yang hanya sekilas lintas, akan tetapi diramu dalam pemberitaan yang mendalam dan menarik.
Sejumlah lembaga pendidikan tinggi yang memiliki keunggulan diberitakan dalam corak investigative news, yaitu Universitas Ciputra, President University, MM Prasetya Mulya, Universitas Pelita Harapan, Universitas Bakrie dan Universitas Ma Chung. Perguruan tinggi ini adalah karya para konglomerat Indonesia yang sekarang beramai-ramai mendirikan pendidikan tinggi.
Perguruan tinggi ini memang didirikan oleh para taipan Indonesia. Universitas Ciputra didirikan oleh pengusaha property yang paling masyhur dan konglomerat, Ciputra, yang mengusung konsep pendidikan kewirausahaan. Universitas Pelita Harapan didirikan oleh Muchtar Riyadi, pengusaha sukses dan telah malang melintang dalam dunia pendidikan tinggi. Sekolah Bisnis dan MM Prasetya Mulya didirikan oleh Sofyan Wanandi pengusaha sukses yang sangat terkenal, Universitas Bakrie didirikan oleh Pengusaha Aburizal Bakri dan President University didirikan oleh Setyono Djuandi Darmono pengusaha kawasan Industri Jababeka.
Salah satu di antara ciri pendidikan tinggi ini adalah tawarannya untuk mengembangkan pendidikan berbasis internasional. Bahkan President University memiliki mahasiswa asing sebanyak 30% dari 1000 mahasiswanya. Demikian pula Universitas Pelita Harapan juga menyelenggarakan pendidikan berbasis kelas internasional. Tawarannya adalah globalisasi, sehingga perangkat yang harus dikuasai adalah bahasa.
Sebagai pendidikan yang berkualifikasi memadai, maka lembaga pendidikan ini memang didesain untuk siap pakai atau ready to use. Yang diusung adalah program-program studi yang memiliki kedekatan dengan kebutuhan dunia usaha. Universitas Ciputra, Universitas Pelita Harapan, President University dan lainnya itu memang didirikan dalam rangka untuk mengisi kebutuhan dunia industry. Makanya, lulusannya juga katanya laris manis di lapangan.
Namun jangan tanya biayanya. Universitas Pelita harapan, biaya 4 tahun adalah 100-180 juta rupiah tanpa pungutan lainnya. President University biaya pendidikannya sebesar 250 juta rupiah, Sekolah Bisnis Prasetya Mulya besaran SPPnya adalah 80-150 juta rupiah, dan Universitas Ma Chung sebesar 60 juta rupiah. Jika direrata, maka setiap tahun, paling murah adalah 15 juta rupiah. Sedangkan tertinggi adalah 72,5 juta rupiah per tahun.
Pendidikan dengan pembiayaan seperti ini memang hanya bisa diakses oleh orang kaya atau kaum the have. Seorang guru besar pun rasanya agak susah untuk bisa menyekolahkan anaknya ke lembaga pendidikan tersebut. Apalagi bagi mereka yang penghasilannya hanya pas-pasan. Rasanya yang bisa memasuki lembaga pendidikan dengan kualifikasi ini hanyalah meraka yang berasal dari kaum pengusaha yang mapan, paling tidak adalah pengusaha menengah ke atas.
Sebagai pimpinan perguruan tinggi, saya terkadang berpikir andaikan tidak ada lembaga pendidikan yang berbasis rakyat, seperti UIN, IAIN dan STAIN atau PTN yang terjangkau oleh kemampuan ekonomi masyarakat, maka akan semakin banyak generasi muda Indonesia yang tidak mampu melanjutkan pendidikan tingginya.
Andaikan dikalkulasi, maka biaya praktikum satu angkatan mahasiswa IAIN Sunan Ampel, sebanyak 2.000 mahasiswa, kira-kira hanya Rp. 400 juta rupiah. Hal itu hanya sama dengan SPP dua orang mahasiswa di Presidenr University. Biaya SPP mahasiswa IAIN SA sebanyak 2000 mahasiswa sebesar Rp. 1,2 M ( satu semester) atau Rp. 9,6 M untuk program 4 tahun atau hanya sama dengan SPP 24 orang mahasiswa President University untuk program pendidikan 4 tahun.
Jika lebih detail diperbandingkan, maka SPP setahun mahasiswa IAIN sebesar Rp. 1.200.000,- sedangkan mahasiswa President University sebesar Rp. 72.500.000,- melihat kenyataan ini, maka pendidikan berbasis keagamaan memang sangat jauh perbedaan pendanaannya dibandingkan dengan pendidikan berbasis bisnis yang dikembangkan oleh para taipan bisnis di Indonesia.
Di sinilah arti pentingnya pemihakan Negara kepada lembaga pendidikan keagamaan seperti IAIN atau STAIN atau lembaga pendidikan keagamaan pada umumnya. Tanpa pemihakan kepada mereka, maka akan sangat sulit bagi pendidikan tinggi agama untuk maju dan berkembang seperti lainnya.
Agar pendidikan keagamaan memiliki sarana dan insfrastruktur yang dibanggakan dan dapat menjadi instrument bagi mahasiswa untuk mengembangkan kemampuan diri dan mengaktualkan potensinya, maka hanya ada satu hal yang penting, yaitu percepatan pengembangan pendidikan. Dan ini adalah tugas penting pemerintah.
Wallahu a’lam bi al shawab.