MEMAHAMI KERUSUHAN PRIOK JILID II
Daerah Priok Jakarta, memang pernah menjadi saksi kerusuhan social di era orde baru. Kita tentu masih ingat peristiwa kerusuhan social yang dipicu oleh gerakan Islam radikal, yang di era orde baru dianggap sebagai gerakan yang memang tidak boleh muncul apalagi berkembang di Indonesia. Era orde baru adalah era di mana gerakan-gerakan Islam atau lainnya yang mengusung anti pemerintah dibabat habis. Tentu masih dapat diingat adanya gerakan Komando Jihad, Gerakan Warsidi, Gerakan Priok dan sebagainya yang melakukan perlawanan terhadap pemerintah waktu itu.
Pada waktu itu, terdapat instrument kekuasaan yang sangat powerfull yaitu Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) yang berada di tangan Soedomo dan Departemen Pertahanan dan keamanan yang powernya berada di tangan Benny Murdani. Melalui dua orang yang sangat berkuasa di bidang keamanan dan ketertiban tersebut, maka negeri menjadi aman akan tetapi mengandung bara api permusuhan. Hebatnya juga, bahwa tim intelijen juga bekerja sangat rapi, sehingga sering dinyatakan bahwa: “jarum jatuh saja bisa didengar olehnya”.
Jadi, peristiwa Priok yang baru terjadi adalah kerusuhan social jilid II, meskipun akar masalahnya kelihatan berbeda. Namun hakikatnya adalah sama yaitu perlawanan terhadap negara. Disebut tampaknya berbeda, sebab di dalam kerusuhan social Priok jilid I adalah perlawanan terhadap negara yang sangat represif terhadap kegiatan keagamaan umat Islam, maka di dalam peristiwa kerusuhan social Priok jilid II disebabkan oleh penggusuran warga dalam kaitannya dengan tanah perusahaan.
Sesungguhnya penggusuran terhadap warga adalah problem perkotaan di mana saja. Pemerintah kota memang memiliki keinginan untuk menertibkan kotanya. Akan tetapi sebagai akibat urbanisasi yang tidak mampu dicegah, maka banyak kota yang memiliki wilayah-wilayah slum area atau kantong kekumuhan. Itulah sebabnya pemerintah kota selalu “bermusuhan” dengan para pemukim yang sebenarnya juga banyak yang stateless. Penduduk tanpa identitas.
Saya teringat, ketika Pemkot Surabaya menertibkan penduduk di daerah pinggir sungai Jagir beberapa saat yang lalu, sesungguhnya dipicu oleh kesulitan pemerintah kota untuk mendata mereka ini. Kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang tidak memiliki identitas diri, sebab mereka dating ke kota tanpa membawa selembar identitas apapun. Di tengah usaha untuk memberikan layanan kesehatan, ekonomi, pendidikan dan lainnya yang selalu by name and by address, maka mereka tentu tidak bisa disentuh, karena ketiadaan identitas sebagai warga Surabaya tersebut.
Inilah rumitnya problem perkotaan, yang dialami hampir semua kota-kota di dunia. Tidak terkecuali Jakarta. Pemerintah berkeinginan merapikan dan menata kotanya agar indah, serasi dan nyaman, akan tetapi berbenturan dengan kenyataan social yang paradox. Kerusuhan social jilid II di Priok, sebenarnya lebih difasilitasi oleh masalah social ketimbang masalah agama.
Kerusuhan social tersebut, sesungguhnya adalah kerusuhan yang dipicu oleh masalah penggusuran pemukiman warga dan bukan masalah penggusuran makam keramat, Mbah Priok. Makam Mbah Priok bagi pemerintah adalah asset wisata ziarah yang menurut akal apapun tidak mungkin akan dipindahkan. Beliau adalah penyiar Islam generasi pertama di Jakarta, sehingga tidak mungkin tanah tersebut menjadi asset Pelindo yang datang belakangan. Jika memang di dalam bukti tanah seperti itu, maka pasti ada kesalahan dari pemberi legalitas Pelindo untuk memiliki tanah makam tersebut.
Seperti yang kita ketahui dalam banyak kerusuhan social, maka penggunaan sentiment keagamaan dianggap sebagai bagian penting untuk menguatkan perlawanan. Kasus kerusuhan Priok sekarang juga diindikasikan adanya penggunaan sentiment agama di dalamnya. Ketika terjadi pemberitaan di media televisi pada hari pertama kerusuhan social tersebut, jelas disebutkan bahwa pemkot akan melakukan penggusuran terhadap makam Mbah Priok.
Di dalam berbagai kerusuhan social, yang kemudian memuat sentiment keagamaan, maka akan banyak orang yang memberikan dukungan. Bisa saja dukungan pernyataan atau fisik. Makanya, orang yang melakukan perlawanan social juga merasa memperoleh dukungan secara maksimal untuk melawan. Di dalam banyak hal, kerusuhan social yang bernuansa agama pastilah akan lebih keras kejadiannya.
Kasus kerusuhan social di Priok jilid II merupakan akumulasi dari berbagai sentiment masyarakat terhadap perlakuan negara terhadapnya. Oleh karena itu, di dalam kerangka untuk menjaga agar tidak terjadi kerusuhan social lagi, maka yang menjadi penting adalah membangun kesepahaman agar setiap persoalan dapat direduksi tingkat perlawanannya. Maka, seharusnya dikembangkan sikap saling memahami kepentingan masing-masing yang seringkali berbeda.
Tetapi kita tetap berkeyakinan bahwa setiap persoalan akan bisa dicari jalan keluarnya asalkan memang ada niatan untuk menyelesaikannya.
Wallahu a’lam bi al shawab