MASIH ADA DIKHOTOMI ILMU
Andaikan Baghdad sebagai pusat paradaban Islam tidak dihancurkan oleh pasukan Mongol dibawah Hulagu Khan, maka mercu suar ilmu keislaman akan jauh lebih maju dibandingkan sekarang. Bisa jadi dikhotomi ilmu pengetahuan seperti sekarang juga tidak terlihat sangat kuat. Akan tetapi keunikannya, bahwa para penakluk kekhalifahan Islam ini justru kemudian menjadi pengikut Islam yang setia dan menjadi penyebar Islam di wilayah-wilayah Asia Tengah, Timur dan Selatan. Hanya sayangnya, memang penghargaan kepada ilmu pengetahuan tidak seperti zaman-zaman Khalifah Harun al Rasyid dari Bani Abbasiyah yang memang menggilai pengembangan ilmu pengetahuan sedemikian rupa.
Hukum sejarah memang seperti roda berputar. Ada kalanya berada di putaran atas dan adakalanya di putaran bawah. Pengembangan ilmu pengetahuan di dunia Islam juga mengalami pasang surut. Di masa kerajaan Abbasiyah pengembangan ilmu mengalami masa keemasannya, sehingga dijumpai banyak ahli ilmu pengetahuan dengan latarbelakang keislaman yang luar biasa.
Sejumlah nama yang sangat masyhur dalam dunia ilmu pengetahuan pun merebak. Misalnya Ibn Khaldun yang ahli sejarah social dan namanya diabadikan oleh penulis sejarah teori social barat, seperti George Ritzer. Ibn Sina yang ahli di bidang filsafat, kedokteran dan lainnya yang juga sangat masyhur di dalam dunia kedokteran barat. Dokter pertama yang mendalami ilmu bedah dan kontribusinya bagi pengembangan ilmu kedokteran tentu tiada yang mengingkarinya.
Demikian pula ahli di bidang filsafat tentu tidak ada yang meragukan kontribusi Ibn Rusyd. Beliau adalah orang yang sangat konsern dalam pemikiran filsafati. Namanya pun disejajarkan dan bahkan melebihi kehebatan Aristotels, Plato dan sebagainya. Demikian pula ahli kimia, fisika, matematika, ilmu hitung dan sebagainya. Kontribusi ilmuwan Islam tidak ada yang meragukannya.
Ilmu pengetahuan hanya bisa berkembang di sebuah pemerintahan yang stabil dan memperoleh dukungan sangat tinggi dari penguasa. Jika di masa pemerintahan Abbasiyah pengembangan Ilmu pengetahuan mencapai puncaknya, kemudian semakin lama semakin menurun, dan kemudian meningkat lagi di masa-masa dinasti Islam di Spanyol dan juga di Mesir, maka kemudian menurun lagi di era berikutnya. Dan puncaknya adalah di era kehancuran Ottoman dan kerajaan-kerajaan kecil lainnya, maka pengembangan ilmu keislaman juga mengalami stagnasi.
Di era ini, maka bangkitlah barat dengan segala kekuatannya. Ilmu pengetahuan yang selama itu menjadi dominasi ilmuwan Islam, kemudian beralih menjadi dominasi orang barat. Di saat inilah kemudian ilmu terdikhotomi menjadi dua yang seakan-akan tidak bisa saling menyapa. Ilmu umum dan ilmu agama. Ilmu umum adalah ilmu yang empiris yang bisa diverifikasi, yang bisa diukur dan bisa diobservasi atau sejauh-jauhnya adalah yang berbasis pada pengalaman empiris manusia-manusia.
Menurut orang barat, pembidangan ilmu pengetahuan kemudian dibagi tiga, yaitu Ilmu alam (natural sciences), ilmu social (social sciences) dan ilmu budaya dan kemanusiaan (culture and humanities). Bahkan ilmu agama menjadi bagian dari culture and humanities. Ilmu agama kemudian tereduksi sedemikian kecil, hanya menjadi bagian dari ilmu budaya dan kemanusiaan.
Posisi ilmu agama seperti inilah yang hingga hari ini menjadi keyakinan kita. Menjadi bagian dari mindset kita. Kita membedakan dengan sangat kuat antara ilmu agama dan ilmu umum. Sehingga ketika kita akan membuka program studi selain ilmu agama juga ada anggapan yang sangat kuat bahwa kita akan mengerdilkan ilmu agama.
Di dalam pemikiran kita sudah sangat kuat tertanam, bahwa selain ilmu keislaman tidak akan bisa membawa kita ke jalan yang diridlai Allah. Apalagi menjadi sarana untuk masuk surga. Jadi kalau ada orang yang mengabdikan segenap ilmunya, misalnya ilmu kedokteran dan itu bisa didayagunakan untuk keselamatan manusia dalam jumlah yang mendunia sekalipun, dan orang itu memiliki persyaratan keagamaan yang memadai, maka orang itu juga tidak layak memperoleh keselamatan dengan ilmunya yang bermanfaat itu.
Untunglah ada orang seperti Ismail Raqi al Faruqi dan juga isterinya Lamya al Faruqi yang mengingatkan kita agar jangan membuat dikhotomi ilmu yang berlebihan. Baginya, semua ilmu itu bersumber dari tauhid, keyakinan tentang Tuhan yang memiliki dan menjadi sumber pengetahuan.
Dari pemikiran beliulah, maka geliat untuk mengembangkan ilmu keislaman yang saling menyapa dengan ilmu umum bisa dilakukan dewasa ini. Maka di Indonesia pun lalu dilakukan proyek-proyek “Islamisasi Ilmu” atau pengembangan ilmu keislaman dan sebagainya. Mungkin kita tidak perlu berdebat dengan proyek prestius tetapi juga ambisius tentang “Islamisasi Ilmu”. Namun demikian, kita perlu mendukung usaha-usaha tidak kenal lelah untuk mewujudkannya. Kiranya sejarahlah yang nanti akan mencatat, apakah proyek ini berhasil atau tidak.
Wallahu a’lam bi al shawab.