GERAKAN MANDI SEMBILAN GAYUNG
Ada cerita menarik yang disampaikan oleh Pendeta Simon Filantropa dalam seminar sehari tentang “Membangun Kerukunan di tengah Keragaman”, di Aula Universitas Bhayangkara, dengan Ibu-ibu Muslimat, Senin, 29/03/2010. Beliau mengungkapkan tentang pentingnya melakukan gerakan mandi yang lebih irit, tidak memubadzirkan air. Yaitu Gerakan Mandi Sembilan Gayung.
Pemikiran ini merupakan sesuatu yang sangat prospektif di tengah semakin langkanya air bersih terutama di kota-kota besar. Tidak terkecuali kota Surabaya. Kota yang luasnya 374,36 Km2, dengan jumlah penduduknya yang sangat padat (3.282.156 orang) ini, tentu membutuhkan air besih yang sangat banyak.
Tentu saja tidak perlu filsafat yang rumit mengapa harus mandi hanya dengan sembilan gayung. Ukurannya adalah tiga gayung untuk membasahi seluruh tubuh, tiga kali untuk membersihkan badan dari sabun atau lainnya dan tiga gayung untuk membilas agar tubuh menjadi bersih.
Kelangkaan Sumber Daya Air
Ada logika yang sangat sederhana, yaitu semakin banyak penduduk tentu semakin banyak kebutuhan air. Dengan jumlah penduduk dunia yang semakin banyak maka kebutuhan akan air bersih juga akan semakin banyak. Demikian pula di Indonesia dan kota-kota besarnya. Kebutuhan akan air bersih berbanding lurus dengan peningkatan jumlah penduduk.
Salah satu problem yang dihadapi oleh masyarakat modern di dunia ini adalah tentang kelangkaan sumber daya air. Sesungguhnya, pemerintah dan masyarakat sudah sangat menyadari tentang semakin langkanya sumber daya air. Mereka menyadari bahwa ancaman bencana kelangkaan sumber daya air tidak kalah mengkhawatirkan bagi setiap masyarakat, khususnya yang tinggal di perkotaan. Di sisi lain, melakukan ekploitasai secara besar-besaran terhadap air tanah tentunya tidak hanya mengakibatkan terjadinya kelangkaan air, tetapi juga mengakibatkan penurunan permukaan tanah, yang akan berakibat terhadap masuknya air laut.
Jika dilakukan pengamatan secara mendasar, maka diketahui bahwa Jakarta dan Semarang bias menjadi contoh perkotaan yang posisinya semakin rendah daripada permukaan laut. Kota inik kemudian dihadapkan pada ancaman banjir dan kelangkaan air setiap tahun. Perubahan iklim juga memicu terjadinya berbagai problem yang terkait dengan ancaman kelangkaan air.
Terus meningkatnya jumlah penduduk dunia, sementara pasokan sumber daya air semakin berkurang akan menyebabkan kelangkaan sumber daya air. Problem paling parah adalah di negara-negara berkembang, karena masih tingginya angka kelahiran, maka kelangkaan sumber daya air juga menjadi relative lebih besar. Kemudian problem air juga dirasakan oleh masyarakat di perkotaan karena laju pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi dan juga diperparah oleh kenyataan semakin tingginya urbanisasi yang terus terjadi. Bahkan di kota-kota besar ditengarahi adanya urban berlebih, di mana jumlah orang yang masuk ke wilayah perkotaan selalu meningkat dari tahun ke tahun.
Cadangan air di Indonesia sangat cukup, sebab Indonesia termasuk dalam salah satu negara yang memiliki cadangan air terkaya di dunia. Namun demikian, problem kelangkaan air harus tetap diperhatikan, khususnya di wilayah perkotaan. Bukankah ketika di musim kemarau terdapat suasana yang sangat kontras, terjadi kelangkaan air di mana-mana. Bahkan di wilayah Lamongan sudah menjadi semacam guyonan: “nek rendeng gak iso dodok, nek ketigo ora iso cewok” atau kalau musim hujan tidak bias duduk, kalau musim kemarau tidak bias cebok”.
Perhatian bagi Warga Surabaya
Pembangunan kota tentu ditandai dengan semakin menjamurnya gedung-gedung pencakar langit. Untuk kepentingan kebutuhan air, maka dipastikan akan dilakukan eksploitasi air bawah tanah. Maka secara lambat tetapi pasti akan menyebabkan kelangkaan sumber air bersih di masa yang akan datang.
Oleh karena itu, yang perlu dicermati adalah: pertama, eksploitasi air tanah yang dilakukan oleh gedung perkantoran, rumah sakit, pusat perbelanjaan, apartemen, perumahan, dan bangunan lainnya. Kedua, pembangunan gedung-gedung yang tidak mematuhi perbandingan lahan terpakai dan lahan terbuka. Konstruksi bangunan ini pasti akan mengganggu proses penyerapan air hujan ke dalam tanah.
Seperti yang kita ketahui bahwa pembangunan wilayah perkotaan seringkali tidak mematuhi terhadap pentingnya penyerapan air hujan ke dalam tanah. Banyak bangunan yang seluruhnya menutup lahan tanah untuk penyerapan air. Akibatnya, air hujan yang seharusnya meresap ke dalam tanah akhirnya menjadi banjir yang disebabkan oleh ketiadaan resapan tanah untuknya.
Semakin meningkatnya jumlah penduduk yang akan menyebabkan semakin banyaknya kebutuhan akan air, tentu harus diikuti dengan perubahan perilaku tentang air. Jika masyarakat masih berperilaku memubadzirkan air, dengan mandi tanpa batas gayungnya, maka pemenuhan akan air bersih yang dikelola oleh PDAM tentu akan terus bermasalah. Sebab antara kebutuhan air bersih dengan kebutuhan pemakainya selalu tidak seimbang.
Perilaku mubadzir atau berlebih-lebihan dilarang oleh semua agama. Semua teks agama mengajarkan agar manusia berperilaku yang wajar, termasuk dalam memanfaatkan sumber daya air. Oleh karena itu, Gerakan Mandi Sembilan Gayung rasanya menjadi sangat rasional di tengah kebutuhan air yang terus meningkat di era sekarang dan masa datang.
Wallahu a’lam bi al shawab.