PASCA BHP LALU APA?
Ada sebuah pernyataan menarik dari Prof. Dr. Machasin waktu memberikan penjelasan tentang Sosialisasi dan Responsi Gelar dan Pembidangan Ilmu di IAIN Sunan Ampel dalam pertemuan para pimpinan perguruan tinggi agama Islam (PTAIN). Di antaranya ialah tentang bagaimana responsi PTAIN pasca dicabutnya UU BHP tersebut.
Seperti diketahui bahwa pasca diterimanya gugatan tentang pencabutan UU BHP, maka perguruan tinggi berada di dalam nuansa ketiadaan kepastian landasan hukum penyelenggaraan pendidikannya. Memang ada beberapa peraturan yang dijadikan pedoman misalnya PP 60 tahun 1999 tentang Pendidikan Tinggi, dan PP No 61 Tahun 1999, yang kemudian menginsipirasikan tentang pendididikan dalam status Badan Hukum Milik Negara (BHMN) yang sudah diterapkan oleh tujuh PTN, yaitu: UI, ITB, IPB, USU, UGM, UNAIR dan UNJ. Sementara yang lain berupa PT BLU dan PTN. Di Kementerian Pendidikan Nasional terdapat sebanyak 20 PTN BLU dan sisanya PTN, sementara di Kementerian Agama terdapat sebanyak 13 PTAIN BLU dan sisanya PTAIN.
Aturan yang setingkat Undang-Undang memang sangat penting, sebab tanpa aturan setingkat itu akan menyebabkan ketiadaan pedoman untuk dasar penyelenggaraan pendidikan tinggi. Banyak lembaga pendidikan tinggi yang diselenggarakan berdasarkan atas aturan setingkat SK Presiden atau sejauh-jauhnya adalah peraturan pemerintah. Misalnya beberapa UIN adalah selevel SK Presiden dan beberapa PT BHMN adalah selevel PP. Memang sudah didapati aturan setingkat Peraturan Pemerintah (PP) yang mengatur penyelenggaraan pendidikan, misalnya PP No. 17 tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan.
Meskipun secara tidak langsung, aturan tentang PT BHMN banyak dituding sebagai biang penyebab mahalnya biaya pendidikan. Di dalam banyak hal didapati tuduhan bahwa PT BHMN memasuki kawasan komersialisasi pendidikan. Misalnya SPP memang tidak naik, tetapi penarikan biaya-biaya lain tentu masih cukup tinggi. Ada sejumlah dana yang harus dikeluarkan oleh mahasiswa misalnya dalam bentuk uang bantuan pendidikan. Melalui kelas-kelas non regular, maka PT BHMN bisa menarik anggaran dengan cukup tinggi. Misalnya, untuk program doctor, maka selain SPP, maka juga ada dana bantuan pendidikan yang jumlahnya relative besar. Demikian pula di dalam program S2 dan S1.
Bandingkan dengan lembaga-lembaga pendidikan tinggi Islam. Biaya pendidikan untuk program doctor hanyalah SPP saja tanpa ada biaya tambahan. Demikian pula untuk biaya pendidikan program S2 juga hanya SPP tanpa biaya apapun. Bahkan untuk setingkat S1 juga hanya biaya SPP dan komponen lain yang sangat minim. Bahkan dalam banyak hal biaya pendidikan itu lebih murah dibandingkan dengan pendidikan selevel SLTA. Akan tetapi memang perbandingan itu hanyalah untuk memberikan ukuran bahwa biaya pendidikan di lembaga pendidikan umum jauh lebih mahal dibandingkan dengan pendidikan keagamaan. Hal itu tentu saja terkait dengan civil effect yang didapat oleh yang bersangkutan memang berbeda.
Berdasarkan atas hal ini, maka sesungguhnya tetap dibutuhkan aturan perundang-undangan yang akan menjamin bagi proses pendidikan tinggi agar tidak melenceng dari tujuan pendiriannya, yaitu sebagai lembaga pendidikan tinggi yang nirlaba dan memihak kepada kepentingan masyarakat. UU BHP sebenarnya akan memberikan kepastian tentang penyelenggaraan pendidikan, hanya saja ketika UU BHP ternyata akan membawa kecenderungan ke arah komersialisasi pendidikan, maka hal inilah yang kemudian ditolak oleh banyak pihak.
Aturan bagi pendidikan tinggi tentu diharuskan untuk memihak kepada kepentingan rakyat untuk mengakses pendidikan. Hal itu tidak lepas dari pikiran dasar yang tertuang di dalam pembukaan UUD 1945 yang terkait dengan mencerdaskan kehidupan bangsa. Salah satu di antara cara yang paling efektif di dalam mencerdaskan bangsa tentu terkait dengan pendidikan. Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional juga senada dengan pembukaan UUD 1945 dan pasal-pasal tentang pendidikan nasional. Pendidikan harus memihak rakyat. Artinya bahwa lembaga pendidikan harus memberikan ruang sebesar-besarnya bagi rakyat untuk memperolehnya.
Dengan demikian, ke depan tetap dibutuhkan aturan yang terkait dengan pendidikan tinggi selevel Undang-Undang dan bisa saja hal itu diambil dari sebagian besar atau kecil materi UU BHP yang dinilai memihak rakyat, sehingga penyelenggaraan pendidikan tinggi memiliki kepastian di dalam penyelenggaraan pendidikannya.
Wallahu a’lam bi al shawab.