FRONTAGE OH FRONTAGE
Saya selalu merasa sedih membaca berita dan komentar tentang frontage road di Surabaya Selatan atau di Jalan A. Yani Surabaya. Rasa kesedihan saya itu, disebabkan selama ini saya merasa sudah berusaha secara maksimal agar persoalan frontage road segera bisa dituntaskan, tetapi di lain pihak juga tidak melanggar aturan hukum yang berlaku. Berita akhir-akhir ini selalu memojokkan IAIN Sunan Ampel sebagai institusi pemerintah yang menghambat pembangunan frontage road.
Cobalah jika disimak berita di media kira-kira dua bulan terakhir dan juga komentar para ahli, baik yang lulusan dalam negeri maupun lulusan luar negeri, semuanya memiliki praduga bahwa IAIN Sunan Ampel sebagai sumber masalah. Berkomentar memang gampang. Tidak sulit. Menghujat juga gampang. Barang mudah. Tetapi berkomentar yang berdasar atas data terkadang memang sulit. Semua tulisan dan komentar itu jika dirasakan dengan hati nurani pasti akan memunculkan anggapan atau bahkan prejudice bahwa IAIN Sunan Ampel menjadi tertuduh. IAIN Sunan Ampel menghambat pembangunan kota.
Terkadang kita ini memberi komentar terhadap sesuatu yang kita tidak tahu secara mendasar tentang masalah yang dikomentari. Tapi ini memang suatu budaya kita yang kira-kira agak berbeda dengan budaya orang barat. Saya meskipun bukan lulusan barat tetapi saya menghargai kejujuran akademis dan tanpa prasangka yang dikembangkannya ketika menulis atau berkomentar. Obyektivitas menjadi sesuatu yang sangat diagungkan. Tetapi inilah kita. Inilah tradisi kita. Inilah tradisi yang telah menjadi bagian dari darah dan daging kita.
Kembali kepada persoalan frontage. Saya sudah berusaha secara maksimal untuk bisa terlibat di dalam proses penyelesaian persoalan itu. Saya sudah lakukan kajian hukum pasca IAIN Sunan Ampel menjadi BLU. Kajian hukum sudah saya sampaikan baik tertulis maupun lesan kepada Biro Hukum Kementerian Agama dan juga Menteri Agama. Kajian tersebut dimaksudkan untuk memahami tentang bagaimana posisi BLU berhadapan dengan asset negara.
Saya sudah melakukan konsultasi dengan Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) untuk memperoleh penjelasan tentang status tanah negara dan bagaimana jalan penyelesaiannya. Bahkan DJKN juga sudah mengirimkan surat resmi ke Kementerian Keuangan tentang status tanah hak pakai oleh IAIN Sunan Ampel pasca IAIN Sunan Ampel menjadi BLU. Jawaban surat tersebut pun sudah diperoleh kira-kira tiga hari yang lalu, yang intinya bahwa dalam pelepasan asset negara tetap mengacu kepada PP No. 6 Tahun 2006 bahwa asset negara tidak bisa diperjualbelikan tanpa persetujuan dari kementerian yang terkait, yaitu kementerian agama dan kementerian keuangan.
Jadi, IAIN Sunan Ampel sebagai pengguna asset negara, sesungguhnya tidak memiliki kewenangan untuk memperjualbelikan atau menukargulingkan atau menghibahkan asset negara. Dan sesuai dengan konsultasi ke Biro Hukum, sesuai dengan konsultasi yang dilakukan dengan Kementerian Keuangan, maka hanya ada tiga cara untuk pengalihan asset negara, yaitu: tukar guling (ruislaag), jual beli dan uangnya langsung masuk ke kas negara, dan hibah. Jadi, tidak ada lainnya. Misalnya asset itu dijual kemudian dibelikan asset yang seimbang dan dimasukkan ke asset negara yang baru, memakai MoU atau kesepakatan penggunaan asset dan sebagainya. Di luar tiga opsi itu berpeluang bermasalah dan bahkan bisa menjadi temuan hukum.
Jadi problem itu bukan persoalan kearifan atau penghambatan atas pembangunan masyarakat atau bahkan demi masyarakat luas akan tetapi masalah yang terkait dengan hukum yang tetap harus dipatuhi oleh siapapun. Menuduh IAIN Sunan Ampel tidak arif dalam menyikapi tanah frontage atau IAIN Sunan Ampel menghambat pembangunan, tentunya sikap gegabah dan tidak memahami inti masalah yang sangat mendalam.
Saya pun sangat gerah menghadapi persoalan ini. Oleh karena itu, jalan yang paling tepat adalah adanya kesepakatan untuk berdiskusi di kementerian agama dan kementerian keuangan, barangkali ditemukan solusi atas keruwetan tersebut. Komentar di Koran hanya akan menyebabkan semakin karut marut dalam menghadapi masalah tersebut.
Dengan demikian, yang dibutuhkan sekarang adalah adanya kemauan IAIN Sunan Ampel, Pemkot, Kementerian agama dan Kementerian keuangan untuk mencari jalan keluar yang memadai untuk penyelesaian pelepasan asset dimaksud.
Wallahu a’lam bi al shawab.