MEMBANGUN SINERGI MELALUI FORUM PIMPINAN PTAIN
Saya merasa bergembira karena pada hari Kamis, 08/04/2010, di IAIN Sunan Ampel dijadikan tempat untuk bertemu para pimpinan PTAIN seluruh Indonesia. Sebanyak 70% para pimpinan PTAIN datang di acara ini. Yang juga membuat saya senang juga karena Direktur Diktis, Prof. Dr. Machasin dan juga Kasubdit Bidang Akademik dan Kemahasiswaan, Dr. Mastuki menyempatkan datang di acara tersebut. Mengapa beliau harus dating, sebab acara ini memang dijadikan sebagai sarana untuk mencermati Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia, Nomor 36 Tahun 2009 tentang Penetapan Pembidangan Ilmu dan Gelar Akademik di Lingkungan Perguruan Tinggi Agama.
Acara ini semula dirancang untuk mendatangkan tim akhir penetapan Gelar dan Pembidangan Ilmu. Akan tetapi sejumlah narasumber yang diundang untuk acara ini ternyata tidak hadir dengan alasan yang sangat rasional. Dr. Jamhari tidak bisa datang sebab ada acara di UIN Jakarta yang tidak bisa ditinggalkan. Kemudian Prof. Atho Mudzhar ke Perancis, Prof.Quraisy Syihab ada acara yang sangat penting di Jakarta, sehingga acara ini tentu menjadi kurang bermakna andaikan Direktur Diktis lalu tidak datang. Makanya, kehadirannya tentu sangat bermakna untuk acara sosialisasi dan responsi terhadap Permenag di atas.
Acara ini semula memang dirancang sebagai bagian dari keinginan bersama untuk mendengarkan paparan tim ahli gelar dan pembidangan ilmu. Pertemuan para pimpinan PTAIN di Makasar mengimperasikan agar melakukan pencermatan terhadap gelar kesarjanaan baru yang ditolak oleh sebagian mahasiswa. Di beberapa PTAIN, sejumlah mahasiswa sudah melakukan demonstrasi tentang gelar baru tersebut. Alumni Fakultas Ushuluddin dengan gelar Sarjana Ushuluddin yang disingkat S.Ud dan kemudian Sarjana Syariah yang disingkat S.Sy merasa kurang sreg dengan gelar tersebut.
Makanya, acara pertemuan para pimpinan PTAIN itu sebenarnya menyangkut persoalan keinginan untuk melakukan revisi terhadap gelar dimaksud. Makanya seluruh pimpinan PTAIN lalu bersepakat bahwa gelar itu masih bisa diperbincangkan. Ada dasar Yuridis yang dapat dijadikan sebagai pedoman untuk menentukan gelar, yaitu Surat Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia, Nomor 178/U/2001 tentang Gelar dan Lulusan Perguruan Tinggi terutama pasal 7 yang dinyatakan:Penggunaan Gelar akademik Sarjana dan Magister ditempatkan di belakang nama yang berhak atas gelar yang bersangkutan dengan mencantumkan huruf S., untuk Sarjana dan huruf M., untuk Magister disertai singkatan nama kelompok bidang keahlian”.
SK Mendiknas tentang gelar ini juga diperkuat dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan , pada pasal 98 ayat (2) Gelar untuk lulusan pendidikan akademik terdiri atas: a. sarjana, yang ditulis di belakang nama yang berhak dengan mencantumkan huruf S dan diikuti dengan inisial program studi atau bidang ilmu; b. magister, yang ditulis di belakang nama yang berhak dengan mencantumkan huruf M. dan diikuti dengan inisial program studi atau bidang ilmu; dan c. doktor, yang ditulis di depan nama yang berhak dengan mencantumkan singkatan Dr.
Menilik hal ini, maka gelar yan ditetapkan oleh Pemerintah hanyalah yang sesuai dengan tingkatan akademisnya, yaitu S untuk sarjana, M untuk magister dan Dr. Sedangkan untuk spesifikasi akademik atau prodi atau rumpun keilmuannya disesuaikan dengan inisial yang disepakati. Bisa saja kesepakatan itu oleh senat akademik universitas/institute atau oleh forum rector. Jadi tentang inisial gelar memang tidak diatur secara khusus oleh kementerian atau lainnya.
Memang seperti diketahui bahwa Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia, Nomor 36 Tahun 2009 tentang Penetapan Pembidangan Ilmu dan Gelar Akademik di Lingkungan Perguruan Tinggi Agama, menuai reaksi dari mahasiswa. Mereka enggan menggunakan gelar-gelar yang sudah ditentukan oleh Permenag tersebut. Makanya, meeting forum pimpinan PTAIN ini lalu menghasilkan beberapa kesepahaman antara lain adalah agar permenag itu hanya mengatur tentang pembidangan ilmu saja tetapi tidak mengatur tentang gelar akademik. Gelar akademik bisa ditentukan oleh pimpinan PTAIN atau forum pimpinan PTAIN dan kemudian dijadikan sebagai pedoman bersama. Jika ada yang khusus dari PTAIN tentunya ditetapkan sendiri melalui pertimbangan senat akademik universitas/institut.
Pertemuan forum pimpinan PTAIN sebenarnya juga menyepakati tentang inisial gelar yang secara khusus dipermasalahkan, yaitu untuk Fakultas Ushuluddin, Syariah dan Dakwah. Sedangkan untuk yang lain, diterima secara keseluruhan. Akan tetapi inisial gelar itu hanya menjadi usulan agar ditindaklanjuti sebagai pedoman bersama. Bisa di SK-kan oleh setingkat Dirjen saja dalam bentuk pedoman penyelenggaraan pendidikan tinggi di lingkungan Kementerian Agama.
Selain itu juga ada hal-hal menarik yang perlu untuk diangkat ke permukaan dalam meeting pimpinan PTAIN di masa datang (khususnya di IAIN Gorontalo) agar juga mengagendakan pentingnya aturan bagi pendidikan tinggi pasca ditolaknya BHP oleh Mahkamah Konstitusi. Demikian pula tentang peraturan tentang tarif yang tidak tercantum di dalam Standart Biaya Umum (SBU) dan pentingnya pengelolaan keuangan melalui Badan Layanan Umum (BLU) bagi seluruh PTAIN.
Jadi melihat kenyataan tentang banyaknya hal yang diagendakan berdasarkan usulan-usulan para pimpinan PTAIN, maka tidak salah jika ke depan pimpinan PTAIN bisa akan saling bersinergi melalui wadah Forum Pimpinan Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (FPPTAIN).
Wallahu a’lam bi al shawab.