MAKNA PEMBAURAN BANGSA DI ERA REFORMASI
Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia telah menerbitkan Peraturan Nomor 34 tahun 2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pembauran Kebangsaan di Daerah dan akhir-akhir ini sudah disosialisasikan. Itu artinya bahwa peraturan tersebut sudah menjadi milik publik. Konsekuensinya bahwa masyarakat mesti harus memahami akan arti pentingnya pembauran bangsa. Kita ini sudah hidup sebagai negara bangsa dalam kurun waktu 64 tahun. Artinya sebagai satu kesatuan bangsa sudah cukup lama. Namun demikian masih terasa ada sesuatu yang mengganjal dalam relasi kenegarabangsaan tersebut.
Semenjak Empu Tantular menulis tentang Bhinneka Tunggal Ika, maka sesungguhnya kesadaran tentang pluralitas dan multikulturalitas sudah dimiliki oleh para leluhur bangsa ini. Kerajaan Kahuripan, Jenggala, Majapahit dan diteruskan oleh kerajaan-kerajaan Islam sudah memberikan gambaran tentang implementasi pluralitas dan multikulturalitas tersebut.
Di wilayah kerajaan Nusantara ini memang semenjak semula memiliki varian suku, ras dan agama. Di kerajaan Majapahit terdapat aneka pemeluk agama; Hindu, Budha, Islam dan Budha-Syiwa, dan juga keyakinan lokal lainnya. Semenjak Wangsa Isyana menguasai tanah Jawa, Sri Erlangga, kemudian Sri Jayabaya, dan raja-raja Majapahit, maka di kerajaan-kerajaan tersebut sudah terdapat kehidupan yang bhinneka tunggal ika. Di negara-negara tersebut telah hidup suku Jawa, Cina, Arab dan bangsa-bangsa lain dengan aneka agama dan kepercayaannya.
Pluralitas dan multikulturalitas ternyata sudah melazimi kehidupan masyarakat ini semenjak dahulu kala. Hanya saja bahwa di tengah kehidupan yang semakin cepat berubah ini, ternyata masih ada yang menganggap etnisitas, ras dan golongan merupakan masalah. Ini berarti bahwa masalah entisitas yang telah menjadi bagian dari historisitas bangsa ternyata masih memendam persoalan social and etnicity prejudice.
Munculnya persoalan itu bukan semata-mata disebabkan oleh relasi etnisitas namun juga lebih disebabkan oleh aspek kepentingan: bisa sosial, politik, ekonomi dan juga budaya. Dalam bidang ekonomi, misalnya social and etnicity prejudice disebabkan oleh faktor kesejahteraan. Orang Cina yang minoritas menguasai lebih besar kesejahteraan, sementara Orang pribumi yang mayoritas justru yang terpuruk.
Kendala pembauran atau relasi pribumi dan non pribumi dapat diatasi dengan meretas faktor penyebabnya, yaitu masalah kemiskinan. Jika kemiskinan bisa diatasi maka faktor pribumi dan non pribumi tidak akan lagi mengedepan. Beberapa kasus yang mencuat seperti konflik antaretnis, suku atau ras sesungguhnya difasilitasi oleh faktor sosial politik ekonomi dan akan menjadi keras jika agama juga masuk ke dalamnya.
Pengalaman tentang kehidupan bersama semenjak kerajaan Kahuripan sampai masa Orde Reformasi yang sudah berusia ribuan tahun sebagai bangsa yang plural dan multikultural sesungguhnya dapat menjadi kaca benggala tentang pentingnya membina kehidupan yang aman dan damai. Seharusnya semua elemen bangsa ini menyadari bahwa keteraturan sosial merupakan prasyarat dalam merajut kehidupan yang dikehendaki bersama. Oleh karena itu, mengurangi tensi kekerasan juga seharusnya menjadi perhatian semuanya.
Namun demikian terkadang kepentingan diri, golongan, komunitas dan masyarakat tertentu bisa menjadi kendala dalam mewujudkan kehidupan yang teratur. Sebagai bangsa yang besar, sudah seharusnya jika semua elemen menyadari bahwa tiada kebesaran suatu bangsa tanpa merajut kebersamaan berbasis perbedaan, baik dalam ras, etnis, dan agama.
Jika kita bisa membangun pembauran antar etnis di dalam negara bangsa ini, maka dimungkinkan akan terjadi kebersamaan dalam kerangka mewujudkan cita-cita bangsa sebagaimana tercantum di dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu menciptakan masyarakat yang adil, makmur sejahtera, cerdas dan mampu membangun perdamaian dunia.
Wallahu a’lam bi al-shawab.
