JAGA DZIKIR
JAGA DZIKIR
Prof. Dr. Nur Syam, MSi
Untuk akhir tahun 2023, saya memang secara sengaja pulang ke rumah Tuban lebih awal. Tidak seperti biasanya yang menjelang tahun baru masihiyah, maka pada tahun ini saya pulang ke Tuban Hari Selasa, 19/12/23, setelah menyelesaikan acara menguji skripsi para mahasiswa Program Strata I Pengembangan Masyarakat Islam (PMI) dan ujian Tesis untuk mahasiswa program magister Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI). Saya akan kembali menjelang tahun baru, ketepatan juga ada acara di UINSA untuk mengikuti prosesi Pengukuhan Professor beberapa dosen UINSA dan juga undangan untuk memberikan pembekalan bagi para pimpinan dan dosen UINSI Palangkaraya.
Di saat pulang itulah maka saya sempatkan untuk memberikan ceramah pada jamaah Mushallah Raudlatul Jannah di Dusun Semampir, Desa Sembungrejo, Kecamatan Merakurak, Tuban. Mushalla ini di depan rumah dan sudah cukup lama dibangun sekitar tahun 1990. Bukan masjid yang besar, tetapi saya bersyukur mushalla ini terus digunakan untuk shalat rawatib baik untuk jamaah lelaki maupun perempuan. Pada hari Rabo, 20/12/2023 ba’da shubuh saya memberikan ceramah agama dengan tema “menjaga dzikir Kepada Allah SWT”. Tema yang menurut saya sangat penting agar para jamaah konsisten di dalam menjalankan wirid yang selama ini sudah terbiasa dilakukan. Ada tiga hal yang saya sampaikan kepada jamaah shalat shubuh, yaitu:
Pertama, kita dicela sebagai pengamal Islam yang melakukan bidh’ah. Sebagaimana diketahui bahwa dewasa ini serangan atas umat Islam yang melakukan dzikir ba’da shalat semakin menguat, dinyatakannya bahwa Nabi Muhammad SAW tidak melakukannya, sehingga dihukumi sebagai bidh’ah. Bagi kelompok Salafi bahwa yang tidak dilakukan Nabi Muhammad SAW dalam kaitannya dengan ritual, apakah itu dzikir atau amalan ibadah lain semuanya dianggapnya bid’ah dhalalah dan layak masuk neraka.
Masyarakat pedesaan sekarang memasuki area media social, terutama anak-anak muda. Oleh karena itu, agar diupayakan jangan sampai kita terpengaruh oleh provokasi yang disampaikan oleh para Salafis untuk mengurangi dzikir kita kepada Allah SWT. Jangan sampai kita terpengaruh untuk tidak mengamalkan amalan yang afdhal karena dianggapnya tidak memiliki rujukan. Kampanye semacam ini terus dilakukan dengan dalih amar ma’ruf nahi mungkar.
Sebagai umat yang sedari dahulu diajari oleh para ulama kita untuk berdzikir ba’da shalat mestilah harus terus dipegangi, jangan sampai karena provokasi para ulama belakangan yang merasa benar sendiri lalu kita mengikutinya. Yakinlah bahwa yang diajarkan oleh para ulama itu bukan untuk melawan atau melanggar ajaran agama, khususnya tuntunan Kanjeng Nabi Muhammad SAW, akan tetapi sebagai upaya untuk secara bersama-sama berdzikir kepada Allah, semoga Allah menerima dzikir kita tersebut.
Kedua, kita melakukan ittiba’ kepada para ulama. Para ulama yang mengajarkan dzikir ba’da shalat itu bukan ulama kaleng-kaleng, yang hanya nyaring bunyinya, akan tetapi sesungguhnya secara substantif mengajarkan tentang pentingnya amalan ibadah yang dilakukan secara berjamaah. Bukankah para waliyullah dan para ulama terdahulu yang mengajarkan Islam itu adalah ulama yang memiliki kapasitas keilmuan yang sangat tinggi. Siapa yang meragukan Kanjen Eyang Syekh Ibrahim Asmaraqandi, Kanjeng Sunan Ampel, Kanjeng Sunan Bonang, Kanjeng Sunan Drajad, Kanjeng Sunan Kalijaga dan diteruskan oleh para ulama seperti Hadratusy Syaikh Kyai Haji Hasyim Asy’ari, KH. Wahid Hasyim, KH. As’ad Syamsul Arifin dan sebagainya yang mengajarkan Islam yang kita pahami dan kita amalkan dewasa ini. Janganlah pernah ragu untuk membaca wirid atau dzikir ba’da shalat rawatib.
Saya harus mengapresiasi kepada jamaah shalat di Mushalla Raudlatul Jannah di Dusun Semampir, Sembungrejo, Merakurak, Tuban. Jamaah ini terus menerus mengamalkan wirid ba’da shalat. Coba kita perhatikan semua mengamalkan istighafar atau permohonan ampunan kepada Allah SWT. Semua membaca ayat kursi, semua membaca hamdalah, subhanallah, Allahu Akbar dan kalimat tauhid, Lailaha illallah. Coba bacaan ini merupakan rangkaian bacaan yang diabsahkan oleh para ulama dan telah menjadi amalan umat Islam Indonesia dalam ratusan tahun semenjak masuknya Islam di Nusantara. Alangkah indahnya melakukan dzikir secara bersama, yang insyaallah akan sampai ke arasy dan sampai kehadirat Allah SWT. Lantunan wirid secara bersama itu akan menembus langit dan sampai kepada Allah SWT.
Ketiga, meyakini yang kita lakukan adalah amalan yang benar. Yakinlah bahwa bacaan yang kita lakukan tersebut akan dapat menyenangkan Allah dan juga menyenangkan Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Setiap kita berdzikir didahului dengan bacaan shalawat kepada Nabi Muhammad dan hal itu sangat dianjurkan di dalam Islam. Jika Allah SWT senang dan Nabi Muhammad SAW juga senang, maka keridlaan Allah pasti didapatkan. Alangkah senangnya jika kita memperoleh ridlanya Allah SWT.
Agama itu terkait dengan keyakinan. Oleh karena itu, setiap amalan yang kita lakukan harus didasari oleh keyakinan. Jika kita beramal tidak dengan keyakinan yang sepenuhnya, maka amalan tersebut akan mubazir. Kita harus yakin bahwa yang kita lakukan itu benar sesuai dengan pemahaman para ulama yang mengajarkannya. Kita harus yakin bahwa ulama itu tidak sembarangan dalam mengajarkan ilmu keislaman, termasuk di dalamnya membaca wirid ba’da shalat rawatib.
Marilah kita lestarikan untuk membaca wirid secara berjamaah ini dan ajarkan kepada anak cucu kita agar terus melakukannya. Kita didik anak-anak kita, keluarga kita agar terus mencintai amalan-amalan yang afdhal sebagaimana diajarkan oleh guru-guru kita, ulama-ulama kita agar kita semua nanti di alam akherat akan mendapatkan syafaat atas amalan yang kita lakukan. Ridla Allahlah yang kita cari.
Wallahu a’lam bi al shawab.