KETIKA KEADILAN SULIT DIGAPAI
Drama perseteruan antara KPK dengan Kepolisian memang masih akan berlakon lama. Beberapa hari yang lalu, memang benang kusut itu mulai diurai oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dengan cara membuka rekaman percakapan antara beberapa orang yang diduga terlibat di dalam kasus KPK melawan Kepolisian. Dan akibatnya dapat diduga bahwa Kepolisian merasa ditohok dengan tindakan MK tentang pemutaran rekaman pembicaraan hasil penyadapan tersebut. Tetapi beberapa hari kemudian, DPR melalui hearing atau Rapat Dengar Pendapat (RDK) dengan Kepolisian yang juga ditayangkan oleh televisi, ternyata kepolisian memberikan semacam testimoni tentang mengapa harus menahan dua petinggi KPK, bahkan menurutnya ada kasus lebih besar yang sedang dikembangkan penyidikannya oleh polisi.
Manusia memang memperoleh gelar sebagai makhluk berakal atau makhluk politis atau zoon politicon. Manusia berbeda dengan binatang yang dalam banyak hal mengandalkan kekuatan fisiknya. Dalam dunia binatang yang terjadi adalah Homo homini lupus. Siapa yang kuat dialah yang menguasai. Makanya, harimau disebut sebagai raja rimba sebab ia memiliki kekuatan yang luar biasa dibanding dengan makhluk rimba lainnya. Manusia dengan kekuatan akalnya, tidak hanya menggunakan fisik dalam menghadapi manusia lainnya tetapi juga dengan kekuatan akalnya. Maka pertarungan antar manusia jauh lebih ekspresif dibandingkan dengan pertarungan antar binatang. Jika binatang hanya mengandalkan kekuatan fisik dalam pertarungan dan dapat dipastikan yang besar yang menang, maka dalam pertarungan antar manusia tidak mesti yang kecil yang kalah, sebab bisa saja yang besar yang kalah karena kepandaian mengatur strategi pertarungan tersebut.
Beberapa saat yang lalu muncul berita, karikatur dan juga gambar-gambar ”buaya melawan cicak”. Buaya adalah lambang Kepolisian, sedangkan cicak adalah lambang KPK. Tetapi digambarkan bahwa buayanya satu sedangkan cicaknya ribuan. Ini juga melambangkan bahwa ada ribuan bahkan jutaan orang di belakang KPK. Mereka adalah orang yang menginginkan agar KPK terus melakukan tindakan hukum terhadap berbagai tindakan koruptif. Tidak peduli siapapun yang melakukan tindakan koruptif tersebut.
Melihat kenyataan bahwa masing-masing memiliki logika dan kekuatan yang jelas, kelihatannya bahwa perseteruan ini belum akan segera berakhir. Jika pasca pemutaran rekaman oleh MK kemarin posisi kepolisian sepertinya terjerembab, maka setelah RDP antara kepolisian dengan DPR maka posisi kepolisian sedikit terangkat. Bahkan ada anggapan bahwa DPR sengaja memberikan angin segar bagi kepolisian yang sedang dituding merekayasa persoalan di dalam KPK. Tak kurang, anggota TPF pun berang melihat gelagat adanya kecenderungan membela kepolisian dimaksud. Menurut Anis Baswedan, anggota TPF, bahwa seharusnya DPR memberi porsi yang sama antara kepolisian dengan KPK. Bahkan Amin Rais, juga khawatir jika masalah perseteruan antara KPK dengan kepolisian ini tidak diselesaikan secara adil maka bisa jadi akan menyebabkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah akan menyusut. Beliau mengingatkan agar jangan sampai terjadi chaos.
Memang kata keadilan itu sering dikaitkan dengan rasa, yang disebut sebagai rasa keadilan. Rasa biasanya terkait dengan kesadaran individual, sehingga keadilan juga dalam banyak hal terkait dengan persoalan individual. Di sinilah rumitnya memenuhi perasaan keadilan. Adakalanya yang dituntut adalah keadilan komunal, yaitu keadilan yang dirasakan oleh sekelompok orang. Padahal keadilan biasanya lebih banyak bersentuhan dengan individu-individu. Jadi terkadang banyak paradoks terkait dengan keadilan tersebut.
Bisa saja pasca siaran langsung pengadilan MK orang mendukung seratus persen terhadap adanya rekayasa politik terhadap KPK, karena kesadarannya bahwa rekaman pembicaraan memang mangarah kesana, akan tetapi pasca RDP DPR dengan kepolisian, maka seseorang akan jadi berubah kesadarannya. Ini semata-mata disebabkan karena perasaan merupakan sesuatu yang sangat sensitif. Bisa saja berubah-ubah sesuai dengan konteks di mana perasaan tersebut berposisi. Lain halnya dengan logika yang memiliki ketahanan jauh lebih lama dibanding perasaan. Itulah sebabnya di dalam dunia hukum lalu dikembangkan logika dan perasaan keadilan. Logika biasanya ditempatkan di atas teks-teks hukum yang sudah disepakati kebenarannya oleh banyak pihak dan di satu sisi rasa keadilan ditempatkan di dalam diri para hakim yang bertugas mengawal keadilan tersebut dan orang yang sedang berperkara.
Jika logika keadilan didasarkan atas bukti-bukti fisik tentang penetapan keadilan, maka rasa keadilan terletak bagaimana hakim tersebut menempatkan logika dan rasa tersebut di dalam memproses keadilan dan mereka yang sedang berperkara. Jadi sesungguhnya hakim adalah seorang agen, yang harus melakukan peran agensi terkait dengan teks-teks hukum, namun tetap berada di dalam koridor keadilan sebagaimana yang diinginkan oleh meraka yang sedang bermasalah.
Nah terkait dengan kasus KPK versus Kepolisian, maka rasa dan logika keadilan tersebut sekarang berada di tangan TPF. Jika tim ini berhasil memadukan antara logika dan rasa keadilan, maka tentunya tim ini akan berhasil untuk menuntaskan persoalan bangsa yang sedang berselimut kabut ini. Banyak orang yang mendambakan bahwa TPF akan bisa menjadi tim independen yang akan melakukan tugasnya untuk memberikan keadilan bagi siapa saja. Jika tim ini berhasil menemukan keadilan dimaksud, maka kepercayaan masyarakat terhadap pengadilan dan bahkan pemerintah akan kembali menjadi meningkat. Dan itu berarti bahwa pembangunan bangsa ini juga akan dapat dilaksanakan kembali.
Wallahu a’lam bi al shawab.
