KH. ZAINUDDIN MZ DAN TANTANGAN FAKULTAS DAKWAH
Wafatnya Da’i kondang KH. Zainuddin MZ adalah sebuah tantangan yang luar biasa bagi masyarakat Islam Indonesia. Kontribusi Beliau yang paling mendasar adalah mengenalkan teknologi dakwah di dalam proses penyebaran ajaran Islam. Jika di dunia music Islami kita mengenal Cak Nun, Emha Ainun Najib, yang memperkenalkan pujian-pujian tradisional menjadi modern melalui music dan teknologi informasi, maka di dunia dakwah bil lisan, maka maskotnya adalah KH. Zainuddin MZ.
Makanya, menurut saya KH. Zainuddin MZ pantas memperoleh Dakwah Award untuk karya monumentalnya mengenalkan dakwah bil lisan yang selama ini hanya berada di pinggiran, di kampung-kampung, akan tetapi kemudian menjadi ke tengah melalui ceramah-ceramah yang diselenggarakan dengan pita kaset. Melalui tape recorder, maka suaranya bisa didengar di mana-mana. Melalui ceramah yang dikasetkan tersebut, maka dakwahnya menjadi lintas golongan dan masyarakat.
Banyak Da’i yang menggunakan ceramah sebagai medium dakwahnya, misalnya adalah KH. Qasim Nurseha. Beliau juga sangat terkenal di kalangan masyarakat, terutama kaum elit. Akan tetapi karena Beliau tidak menggunakan medium teknologi informasi secara massif, maka konsistensinya tidak sebagaimana yang dilakukan oleh KH. Zainuddin MZ. Selain itu juga ada misalnya, Hj. Tuty Alawiyah, yang bahkan sempat menjadi Menteri, akan tetapi konsistensinya tidak sebagaimana yang dilakukan oleh KH. Zainuddin MZ. Di Jawa Timur juga dikenal, Kyai Yasin Blitar yang dakwahnya juga sangat terkenal di pedesaan Jawa. Akan tetapi karena tidak menggunakan medium teknologi, maka jangkauan tema-temanya hanya sebatas wilayah dakwah bil lisan.
Pasca beliau kemudian muncul beberapa Da’I yang menggunakan media teknologi informasi, terutama televise. Misalnya, AA Gym, Ust. Jefry al Bukhari, Arifin Ilham dan seterusnya. Mereka mengusung dakwahnya dengan gaya dan materi yang bervariasi. Mereka dibesarkan oleh televisi. Hal ini tentu berbeda dengan KH. Zainuddin MZ, yang berangkat dari bawah dan kemudian menemukan momentum dengan dakwah melalui kaset.
Pertanyaannya sekarang adalah bagaimana lembaga pendidikan tinggi, khususnya Fakultas Dakwah IAIN dan UIN bisa menghasilkan da’i dengan kualifikasi yang unggul tersebut? Pertanyaan ini pantas dikemukakan, sebab semestinya Fakultas Dakwah IAIN atau UIN akan menghasilkan alumni yang kemudian menjadi da’i seperti yang telah dikembangkan oleh KH. Zainuddin MZ.
Menurut saya, KH. Zainuddin MZ telah memberikan jalan bagi dakwah bil lisan untuk naik pentas secara sangat terhormat. Makanya lalu menjadi tugas kita semua terutama Fakultas Dakwah IAIN atau UIN untuk menghasilkan generasi penerusnya. Fakultas Dakwah sesuai dengan tugas dan fungsinya adalah menghasilkan ahli dakwah yang andal dengan berbagai keahliannya.
Memang, Fakultas Dakwah IAIN atau UIN sudah berkembang dengan berbagai jurusannya, akan tetapi yang mesti diperjuangkan adalah bagaimana mencetak da’i yang andal yang ahli di bidang ceramah agama Islam melalui kemampuan retorikanya. Oleh karena itu, mencetak juru dakwah yang mumpuni di bidang ceramah agama Islam tentu tetap menjadi impian dari institusi ini.
Lalu bagaimana menghasilkannya? Salah satu yang seharusnya menjadi bahan pikiran adalah membuat pusat keunggulan. Pusat keunggulan ini adalah untuk menghasilkan ahli dakwah bil lisan yang andal. Menurut saya harus ada satu kelas unggulan yang nantinya akan menjadi ahli dakwah bil lisan dimaksud. Terhadap kelas ini maka harus didukung oleh seperangkat pendidikan yang khusus sebagai calon ahli dakwah.
Selain itu juga didukung oleh kurikulum yang secara khusus akan menghasilkan da’i. Mungkin tidak perlu banyak kajian teoretik-konseptual, akan tetapi yang lebih penting adalah memberikan bekal pengalaman yang memadai sebagai calon da’i. Makanya, perlu ada review kurikulum khusus untuk mendukung terhadap upaya mendidik calon da’i ini. Jika selama ini, jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI) lebih banyak dimensi teoretiknya, maka di dalam kurikulum ini akan lebih baik jika muatan praktikumnya yang lebih banyak.
Selain itu, juga dilengkapi dengan laboratorium dakwah yang andal. Misalnya harus ada radio, televisi, micro preaching, gamelan, angklung, wayang kulit, alat musik tradisional dan modern dan sebagainya untuk mendukung terhadap program menghasilkan da’i yang multi talenta, akan tetapi tetap berintikan ceramah agama. Bukankah di lapangan didapati ahli dakwah dengan musik dangdut, seperti Gus Aad, Kyai Masrichan dengan kitab kuningnya, Prof. Dr. Muhammad Ali Aziz dengan dakwah intelektualnya, Cak Nun dengan music Kyai Kanjengnya, dan sebagainya.
Akan tetapi yang tidak kalah pentingnya adalah dukungan kebijakan dari pimpinan Kementerian Agama dan juga pimpinan perguruan tinggi. Tanpa pemihakan yang jelas maka upaya untuk mencetak ahli dakwah bil lisan tentu tidak akan tercapai.
Oleh karena itu yang diperlukan adalah bagaimana misi mencetak da’i andal dalam bidang dakwah bil lisan ini dapat dihasilkan oleh perguruan tinggi agama Islam. Dan ini semua membutuhkan tidak hanya diskusi akan tetapi juga aksi.
Wallahu a’lam bi al shawab.