• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

STANDARISASI PENCERAMAH AGAMA (2)

STANDARISASI PENCERAMAH AGAMA (2)
Perdebatan tentang apakah diperlukan sertifikasi terus menggelinding. Padahal Menteri Agama, Pak Lukman Hakim Saifuddin, sudah menjelaskan di berbagai media, baik media cetak, online maupun televisi bahwa yang dimaksudkannya adalah standarisasi khotib dan bahkan bukan penceramah agama. Namun demikian, perbincangan mengenai hal ini ternyata memang sangat sensitive dan mengandung pro-kontra yang luar biasa.
Perdebatan yang terjadi sebenarnya bukan pada konsepsi standarisasi sebagaimana yang ditawarkan oleh Menteri Agama, akan tetapi mengarah pada pandangan bahwa program itu dimaksudkan sebagai pembatasan ruang gerak para penceramah agama. Jadi memang terjadi “pembelokan makna” atau “pembiasan makna”. Sayangnya bahwa media sosial dan juga media cetak dan televisi terlibat di dalam proses pembiasan makna ini, sehingga masyarakat terbawa pada agenda sertifikasi yang lalu dianggap sebagai gerakan pembatasan ceramah agama.
Jika dianalisis sesungguhnya ada tiga kekuatan yang terlibat di dalam perdebatan ini, yaitu: Pertama, kelompok penolak yang menguasai media sosial. Mereka terdiri dari banyak kalangan yang selama ini bisa menikmati kebebasan berceramah agama tanpa “sensor”. Dengan menggunakan logika “amar makruf nahi mungkar” maka mereka bisa berceramah agama dengan tema apa saja, termasuk tema-tema sensitive tentang agama dan politik.
Di dalam kelompok ini kiranya agendanya jelas, yaitu bagaimana memperbesar pengaruhnya untuk kepentingan kelompoknya yaitu gerakan Islam politik khilafah Islamiyah. Kelompok ini yang sering meneriakkan secara kritis tentang penolakannya terhadap demokrasi, Pancasila, dan NKRI. Di kalangan ini, maka semua yang tidak sesuai dengan tafsir agama yang dipahaminya dianggapnya sebagai kesesatan, apakah kesesatan teologis maupun ritual dan kenegaraan.
Secara kuantitas memang tidak banyak, akan tetapi militansinya luar biasa dan juga penguasaan media, terutama online yang sangat massive. Mereka menyadari betul bahwa dengan program ini, maka akan menjadi terbatas gerakannya untuk menyebarkan virus keberagamaan sesuai dengan pemahamannya. Di sinilah pentingnya mereka total fight untuk melawan program yang diwacanakan oleh Menteri Agama.
Kedua, kelompok pengusung Islam kaffah atau syariahisasi negara tetapi tidak beragenda khilafah Islamiyah. Kelompok ini termasuk yang menolak program sertifikasi tetapi menerima program standarisasi khatib dan penceramah dengan logika kepentingan. Bagi kelompok ini, maka yang diperlukan adalah standart khatib atau penceramah agama yang memenuhi asas kepatutan. Mereka tetap menginginkan bahwa para penceramah agama haruslah orang yang secara kualifikasi keagamaan memadahi. Jadi bukan orang yang baru saja belajar Islam lalu bisa menjadi penceramah agama di mana-mana.
Standarisasi penceramah juga harus diberlakukan kepada semua penceramah agama. Jangan sampai wacana ini kemudian menghasilkan anti tesis bahwa penceramah agama Islam tidak berkualitas atau tidak setia kepada negara dan sebagainya. Jangan sampai kemudian menghasilkan stigma bahwa para penceramah agama Islam adalah orang-orang yang anti negara Indonesia.
Memang terdapat perbedaan antara kelompok Islam Syariah dengan kelompok Islam khilafah. Jika kelompok Islam khilafah menggunakan terma-terma yang terkait dengan urgensi khilafah bagi seluruh umat manusia, urgensi khilafah untuk menyejahterakan umat manusia, pentingnya kesatuan umat melalui khilafah dan sebagainya, sedangkan kelompok Islam syariah lebih menekankan pada bagaimana menerapkan syariah Islam di negara Indonesia. Keinginannya adalah semua hukum Islam bisa diterapkan di dalam NKRI. Jika kelompok pertama menolak NKRI, maka kelompok kedua masih menerima NKRI.
Ketiga, kelompok pendukung passive terhadap standarisasi penceramah agama. Kelompok ini menyadari bahwa standarisasi penceramah agama penting, sebab para pendakwah tentu harus orang yang memiliki kualifikasi unggul dalam pemahaman Islam. Baginya tidak boleh ada kesalahan di dalam menyebarkan ajaran Islam. Islam haruslah disebarkan oleh orang-orang yang memiliki kualifikasi memahami sumber-sumber ajaran Islam yang orisinal, memahami teks-teks Islam dengan benar dan juga memahami Islam di tempatnya berkembang. Para penceramah agama harus mampu menterjemahkan Islam keindonesiaan. Jadi bukan hanya memahami Islam dari teksnya, akan tetapi juga memahami Islam dalam konteksnya.
Secara kuantitas jumlah kelompok ini besar. Hanya saja mereka bukanlah kelompok strategis yang memiliki kesadaran untuk mengembangkan informasi tentang kesetujuannya terhadap gagasan ini. Mereka bukanlah kelompok yang memiliki kekuatan media atau bahkan bukanlah kelompok yang berkemampuan mengemas informasi dukungan terhadap gagasan ini. Mereka bukan kelompok ideologis strategis, akan tetapi hanyalah kelompok yang sadar tentang apa yang dilakukannya tetapi tidak “berdaya” untuk mengemas informasi yang melawan terhadap selain dirinya.
Perkembangan informasi dewasa ini memang telah mengarah kepada pemihakan kepada informasi yang menyatakan bahwa sertifikasi atau standarisasi adalah pengekangan atau pembatasan. Makanya ada banyak orang atau kelompok orang yang menyatakan menolak terhadap gagasan ini. Bahkan yang lebih dahsyat menyatakan bahwa Kementerian agama diintervensi untuk melakukan pembatasan ceramah agama.
Jadi, upaya massive yang dilakukan untuk pembiasan makna ternyata memang berhasil dan program standarisasi khatib atau penceramah agama yang sesungguhnya diusung untuk tujuan mulia akhirnya harus menemui jalan buntu. Bukan karena kesalahan konsepsi akan tetapi karena pembiasan makna yang dilakukan secara nyata melalui kekuatan media.
Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini
Comment form currently closed..