PEMIKIRAN POSITIVISME DALAM RUUPT
Saya ingin mengupas lagi tentang dominasi aliran positivisme di dalam RUUPT kita. Mengapa hal ini saya bahad tentu saja terkait dengan suasana kebatinan di dalam perbincangan tentang ilmu pengetahuan dan rumpun ilmu pengetahuan yang selama ini memang mendominasi percaturan dunia keilmuan, yaitu benturan antara agama dan ilmu pengetahuan atau kebih spesifik benturan antara ilmu agama dan ilmu pengetahuan.
Saya tentu memahami mengapa perbincangan tentang juxta posisi antara ilmu agama dan ilmu umum atau antara ilmu agama dan sains dan seterusnya terus berlangsung hingga sekarang. Di dalam realitasnya bahwa orang masih menarik garis demarkasi yang sangat tebal antara keduanya ini. Akibatnya selama bertahun-tahun bahkan berdekade dekade orang tidak berpikir bahwa sesungguhnya di antara keduanya ini ada semacam garis penghubung yang kuat untuk menyatukannya. Meskipun tetap berada di dalam rumahnya sendiri, akan tetapi ternyata ada jalan tembus atau pintu tembus yang menghubungkan keduanya. Ibaratnya bahwa yang mengetahui jalan tembus atau pintu tembus ini memang sangat sedikit, sehingga kebanyakan orang tidak tahu adanya peluang untuk saling berkunjung melalui jalan tembus tersebut.
Untuk memahami tentang positivisme di dalam ilmu pengetahuan, maka bukanlah sesuatu yang mudah, sebab tentu harus dipahami tentang prinsip mendasar dari aliran positivisme ini. Di antara yang sangat menonjol dan menjadi ciri utamanya adalah tentang obyek kajian ilmu pengetahuan yang empirisisme, observasi dsn pengukuran yang menjadi ciri khas pendekatan atau pemikiran di dalam madzab positivisme ini.
Positivisme memang bisa dan menjadi acuan di dalam pengembangan sains yang memang empiris dan observabel. Misalnya rumpun ilmu atau sains alam atau natural sciences. Di dalam hal ini, maka yang menjadi obyek kajiannya adalah benda-benda alam atau fenomena alam yang konstan. Ilmu nomotetik memang berusaha untuk menjelaskan relasi antar femomena alam yang konstan dan menjadikannya sebagai kajiannya.
Di sisi lain tentu juga ada perilaku manusia yang dilakukan berulang-ulang sehingga. Isa diobservasi dan diukur. Maka sosiologi, psikhologi dan lainnya lalu bisa dikaji secara empiris dan observable bahkan juga diukur, sebab memang ada perilaku yang nampak di dalam kehidupan manusia. Di dalam kajian ilmu sosial, maka dikenal madzab fakta sosial yang mengandaikan bahwa perilaku manusia di dalam struktur sosialnya adalah sesuatu yang bisa diukur dengan cara yang empiris dan observable.
Bagaimana dengan agama yang tidak bisa diukur? Apakah bisa dijadikan sebagai sasaran kajian ilmu pengetahuan? bagi kaum positivisme, maka agama tidak ubahnya adalah pemikiran tidak rasional atau semacam dunia mimpi yang tidak jelas juntrungannya. Agama adalah sesuatu yang hadir di dalam masyarakat yang primitif yang menganggap bahwa semua ada rohnh atau semua benda memiliki kekuatan gaib. Jadi agama sama dengan kegaiban dan dunia yang tidak rasional, sehingga tidak bisa diteliti. Makanya juga tidak ada ilmu agama. Ilmu agama sama dengan ilmu gaib, sebab yang diteliti adalah obyek yang bercorak kegaiban, misalnya tentang Tuhan, Malaikat, Dewa, hari akhir, surga, neraka dan sebagainya. Itulah yang sedikit atau banyak menjadi titik tolak pemikiran dari kaum positivisme di dalam memandang tentanb ilmu agama.
Pandangan positivisme inilah yang di dalam banyak hal mempengaruhi terhadap pemikiran akademisi Indonesia termasuk elit politik, elit birokrasi dan sebagainya.
Jadi memang masih harus ada perjuangan yang ekstra kuat untuk menjadikan ilmu agama berkembang di rumahnya sendiri dan sejajar dengan ilmu-ilmu lainnya.
Wallahu a’lam bi al shawab.
