Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

ILMU AGAMA DALAM KAJIAN AKADEMIK

Kita tidak tahu mengapa banyak ahli yang menjadikan fenomena keagamaan sebagai sasaran kajiannya. Secara antropologis, kajian tentang agama sudah sangat lama dilakukan. Jika dirunut, maka terdapat nama Taylor yang mengkaji agama dalam konteks agama lokal, yang dinamakannya sebagai keyakinan animisme atau serba roh. Masyarakat di kala Taylor melakukan penelitiannya, maka dapat dinyatakan sebagai masyarakat yang animistis. Setiap benda memiliki roh gaib.
Kemudian hadirlah R. Marett yang mengembangkan konsep lain, yaitu yang dinamakannya sebagai keyakinan dinamisme, artinya bahwa setiap benda memiliki kekuatan gaib. Masyarakat beranggapan bahwa semua benda di dunia ini memiliki kekuatan yang dapat menggerakannya secara dinamis. Jadi, ada kekuatan gaib yang mendasari setiap benda di dunia ini.
Sampai tibalah kemudian ada nama Frazer, lalu Malinowsky dan sebagainya yang mengkaji tentang kekuatan gaib tersebut yang termanifestasikan di dalam magi. Bahwa ada dunia magi yang berpengaruh terhadap kehidupan manusia. Ketika akal manusia tidak lagi bisa menyelesaikan masalah, maka digunakanlah magi sebagai penyelesaian. Dunia magis yang tidak observable dan tidak terukur akhirnya bisa juga dijadikan sebagaj subject matter bagi para ilmuwan kala itu.
Kaum fenomenolog juga mengembangkan subject matter baru dalam rangka memperluas kajian ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Dunia keyakinan yang berupa agama lalu dijadikan sebagai bahan kajian keilmuan. Muncullah lintas disiplin seperti sosiologi agama, antropologi agama, psikhologi agama dan sebagainya. Yang dikaji di sini bukan agamanya akan tetapi pengaruh keyakinan terhadap kehidupan masyarakat baik secara sosiologis, antropologis, psikhologis dan sebagainya.
Muncullah nama-nama besar seperti Max Weber, E. Durkheim, dan generasi seangkatannya. Kemudian hadirlah C. Geertz, H. Geertz, R. Robertson, P. Berger, T. Luckman, dan sebagainya. Lalu ada juga nama seperti Bryan S. Turner, R. Bellah, Julia Howell dan sebagainya. Dan di Indonesia juga muncul nama-nama seperti Azyumardi Azra, Amin Abdullah dan sebagainya. Mereka ini adalah orang yang mengabdikan ilmunya pada pengembangan kajian agama terutama dalam perspektif historis atau rekaman kehidupan keagamaan, baik yang sinkronik maupun yang diakronik.
Apakah kajian keislaman lalu tidak berkembang? Ternyata kajian Islam berkembang dengan sangat pesat. Dengan dibukanya program doktor Ilmu keislaman, maka banyak kajian yang dihasilkannya. Jika disebut misalnya di bidang tafsir Al-Qur’an, maka akan dijumpai nama Nasaruddin Umar, yang sekarang menjadi guru besar Ilmu Tafsir yang mengkaji tafsir tentang gender. Kemudian juga Zaitunah, yang juga menjadi guru besar Ilmu tafsir, juga mengkaji tentang Tafsir Al-Qur’an dalam perspektif gender dan sebagainya. Sekarang sudah ada ratusan doktor Ilmu Keislaman yang tersebar di UIN, IAIN dan STAIN dan juga di lembaga pendidikan swasta.
Semua dari mereka ini aalah ilmuwan Islam yang mendarmabaktikan ilmunya pada pengembangan ilmu keislaman. Dan tentu juga ada ribuan karya akademis dari pelaku kajian ilmu keislaman ini. Oleh karena itu jika ada yang mempertanyakan apakah ada ilmu agama, saya rasa hal ini adalah pertanyaan yang ketinggalan zaman.
Kembali kepada catatan tentang pembidangan ilmu tersebut, maka sesungguhnya LIPI telah memberikan sumbangan pemikiran yang sangat mendasar tentang ilmu keislaman. Melalui pembidangan ilmu tersebut, maka nomenklatur keilmuan Islam menjadi semakin kuat sebab telah memperoleh pengakuan dari para ahli, terutama yang dikomandani oleh LIPI.
Kita sadar bahwa sesungguhnya ilmu adalah konsensus yang dihasilkan oleh para pakar keilmuan dalam bidangnya. Oleh karena itu jika ada orang yang menyatakan bahwa ilmu agama tidak ada sebab yang berangkutan memang tidak memahami tentang ilmu yang diperbincangkan itu.
Di dalam dunia ilmu pengetahuan, maka seseorang yang tidak memiliki otoritas di dalam ilmu yang diperbincangkan dan kemudian menghakimi bahwat teori atau konsep atau bahkan nomenklaturnya tidak ada, maka adalah kesalahan akademis yang luar biasa.
Makanya kita ingin untuk mendiskusikan sebuah ilmu dengan orang yang mau memahaminya. Jadi jika mereka tidak paham tentu kita berharap semoga ke depan akan memperoleh pencerahan.
Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini
Achyar Fadilah at 09:39 on 26 September 2018

Lalu apa contoh kajian islam dalam akademik selain quran dan hadits?

Nur Syam at 04:48 on 14 December 2018

baca tulisan sayatentang agenda riset Islamic astudies multidisipliner dalam blog ini. thanks.