MENGEMBANGKAN NU KE DEPAN
Sebagaimana yang telah saya paparkan pada dua tulisan sebelumnya tentang NU dan gerakan ideologisasinya, maka saya ingin mengembangkan gagasan tersebut ke dalam praksis gerakan, meskipun saya tahun bahwa pikiran semacam ini tentu sudah ada di benak para aktivis, terutama yang mendalami teori gerakan.
Terus terang bahwa ada kerisauan yang cukup beralasan tentang mengapa penting gerakan ideologisasi NU itu. Dan yang mendasar adalah tekanan gerakan-gerakan trans-nasionalisme yang terus bergulir dan berkembang dewasa ini. Berbagai deklarasi tentang perlunya membentuk khilafah Islamiyah sebagaimana sudah diumumkan oleh gerakan ini, maka membuat ulama NU dan penganut Islam ahl al sunnah lainnya di Indonesia merasa mendapatkan tekanan yang relative kuat.
Gerakan-gerakan ini sudah melakukannya dengan sangat sistematis. Yaitu dengan mengembangkan sistem sel yang sangat bagus. Gerakan untuk mendeklarasikan khilafah Islamiyah yang dilakukan melalui lingkaran-lingkaran kecil dan membentuk jaringan inti dan sel yang sangat kuat akan menjadikan gerakan ini sebagai gerakan ideologis yang sangat kuat.
Pola seperti ini memang tidak dikenal secara memadai di kalangan NU. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa NU itu identik dengan gerakan kultural, sehingga seseorang akan menjadi NU hanyalah karena kesamaan kultur dan bukan kesamanaan struktural-ideologis. Akibatnya NU hanya akan menjadi gerakan kultural dan bukan gerakan ideologis.
Jika NU terus mengembangkan pola ini, maka bisa dibayangkan bahwa NU hanya akan menjadi kulit luar dan bukan inti dari setiap penganutnya. NU hanya seperti baju yang bisa dipakai dan bisa juga dilepas. Bahkan bisa dicuci jika kotor. NU hanya menjadi sesuatu yang sangat asesoris berada di luar, bisa ditampilkan tetapi bukan sesuatu yang harus disimpan dan dijadikan sebagai pegangan yang kuat mengakar di dalam diri.
NU seharusnya menjadi inti kebudayaan bukan asesori kebudayaan. Jika menggunakan konsepsi budaya luar dan budaya dalam, maka NU sekarang ini masih menjadi budaya luar bukan budaya dalam. Di dalam konsepsi ini, maka budaya luar bisa berubah, sementara itu budaya dalam sangat sulit berubah, sehingga orang bisa berubah kapan saja, sebab kebudayaannya itu hanya menjadi aksesori.
Untuk menjadi budaya dalam atau core culture, maka dibutuhkan waktu yang sangat lama dan proses pembudayaan yang sangat kuat. Pertanyaannya adalah apakah NU pernah atau secara efektif melakukan proses pembudayaan?. Atau sekurang-kurangnya NU melakukan proses secara sadar untuk menjadikan mereka itu sebagai NU?.
Sebagai jawabannya, bisa kurang lebih. Artinya, bahwa NU sudah melakukannya pada level aktivis atau pengurus NU, akan tetapi jarang mereka kemudian melakukannya pada level masyarakat secara luas. Banyak masyarakat yang secara kultural adalah NU akan tetapi dia tidak memahami tentang apakah NU itu dan apa saja di dalam NU. Mereka hanya tahu tahlilan, wiridan, ziarah kubur, yasinan dan sebagainya yang merupakan tradisi keagamaan NU tetapi sungguh tidak tahu apakah NU itu.
Sementara itu, sosialisasi NU di kalangan anak-anak atau enkulturasi terhadap mereka juga tidak dilakukan yang disebabkan karena ketidakpahaman orang tuanya tentang NU. Jika orang tuanya tidak paham tentang NU, maka mana mungkin anaknya akan mengalami proses enkulturasi. Jadi, tanpa pemahaman yang memadai tentang NU, maka akan terjadi kesenjangan yang menganga atau akan terjadi NU gap generation yang sungguh-sungguh memprihatinkan.
Banyaknya anak muda yang sebelumnya berkultur NU dan kemudian menjadi penggerak gerakan Islam trans-nasional, maka salah satu diantaranya karena rendahnya pemahaman tentang NU secara struktural-ideologis. Kasus mengapa seseorang menjadi Alifa dalam “Sepotong Kebenaran Menurut Alifa” atau anak-anak pesantren yang kemudian masuk ke dalam “Grey Area”, maka tentunya disebabkan oleh rendahnya ideologi ke-NU-an tersebut.
Kita sungguh merindukan NU ideologis sebagai bagian dari proses kesadaran berorganisasi. Untuk itu maka yang diperlukan secara mendasar di masa sekarang dan akan datang adalah bagaimana menjadikan masyarakat NU sebagai NU kultural dan ideologis.
Jika fungsionaris NU tidak melakukan pemberdayaan NU sebegaimana hal itu, maka NU ke depan akan menghadapi semakin memudarnya pemahaman masyarakat NU dalam berbagai lapisan. Makanya, harus ada afgirmamative actions untuk mencapai hal itu.
Wallahu a’lam bi al shawb
